Selamat Membaca

Cover Cluster Gelandangan: Bangun Server dari Laptop Bekas yang Terlantar

Cluster Gelandangan: Bangun Server dari Laptop Bekas yang Terlantar

Berbagi Pengalaman

Pengantar: Sebuah Eksperimen dari Barang Bekas #

Ada yang menarik dari dunia teknologi: tidak semua inovasi lahir dari perangkat baru. Terkadang, ide paling efisien justru muncul dari keterbatasan dan barang yang dianggap “tidak berguna” oleh orang lain. Inilah yang saya alami beberapa waktu lalu, ketika saya “menerima” beberapa laptop bekas—ada yang hanya berupa motherboard, ada yang nyaris utuh, dan ada juga yang kondisinya masih sangat prima.

Daripada menumpuk sebagai limbah elektronik, saya punya ide: kenapa tidak dijadikan server? Bukankah laptop, secara teknis, adalah komputer mini yang sudah punya daya cadangan (baterai), layar, keyboard, dan port yang lengkap?

Eksperimen ini saya namakan Cluster Gelandangan—karena jujur saja, semua komponennya adalah gelandangan digital: tak bertuan, tak terpakai, dan hampir dibuang.

ZBook 17 G2: Tulang Punggung Cluster #

Dari semua unit yang saya miliki, HP ZBook 17 G2 adalah kandidat paling tangguh. Laptop ini tergolong workstation kelas atas di masanya, dengan tenaga prosesor yang masih sangat mumpuni dan dukungan banyak slot penyimpanan—sangat cocok dijadikan server utama.

Saya memilih sistem operasi Runtu—varian ringan dari Ubuntu yang berasal dari Rusia—dan memasang LXDE sebagai desktop environment agar tidak membebani resource.

Di dalamnya saya siapkan tool utama untuk pengembangan:

  • Web stack: PHP, MySQL, MongoDB, PostgreSQL, Redis
  • Development tools: Node.js, Hugo, Docker
  • Utility tambahan: SSH, rsync,dan kebutuhan lainnya

Dengan setup ini, saya tidak perlu lagi install berbagai tool di laptop utama. Cukup konek ke ZBook via VS Code Remote SSH, dan semua pekerjaan bisa langsung dijalankan.

apakah kamu pernah dengar apa itu Bare Metal? Kenapa penting? #

Sebelum lebih jauh, mari kita bicara sebentar tentang istilah teknis: bare metal.

Bare metal berarti menjalankan sistem operasi langsung di atas perangkat keras, tanpa layer virtualisasi (seperti VirtualBox, VMware, atau hypervisor cloud). Artinya: tanpa perantara.

Kenapa ini penting?

  • Performa Maksimal: Tidak ada overhead dari hypervisor. Resource sepenuhnya digunakan oleh OS.
  • Stabil dan Minim Layer: Semakin sedikit lapisan, semakin kecil potensi error aneh.
  • Lebih Dekat ke Hardware: Berguna untuk eksplorasi low-level, akses device secara langsung, atau setting manual seperti RAID atau fan control.

Dengan bare metal, laptop bekas saya bekerja seperti sebuah server rack sungguhan—meski tampilannya jauh dari profesional 🔥.

Contoh keuntungan adanya Bare Metal, laptop lawas pun bisa diajak kerja berat seperti ngoding fullstack

Contoh keuntungan adanya Bare Metal, laptop lawas pun bisa diajak kerja berat seperti ngoding fullstack

Tampilan Casa OS untuk manajemen file (saya bisa menyimpan data-data penting saya disini)

Tampilan Casa OS untuk manajemen file (saya bisa menyimpan data-data penting saya disini)

Masalah yang Mendorong Solusi #

Salah satu alasan utama saya membangun server ini adalah keterbatasan storage di laptop pribadi. Saya yakin kamu pun pernah jadi korban node_modules yang ukurannya seperti semesta paralel—tidak terlihat, tapi beratnya luar biasa.

Selain itu, konfigurasi development sering bikin frustasi: install ulang OS, setting ulang environment, sinkronisasi database, pasang ekstensi, dan seterusnya.

Solusinya?

Sentralisasi development ke satu mesin, lalu remote dari mana saja.

Dengan begitu, laptop pribadi cukup install VS Code dan sambung ke server. Tidak ada lagi “kerja tertunda karena belum setting environment (walau ini ndak berani menjamin juga sih wkwkwkwk)”.

Arah dan Harapan ke Depan #

Setelah sistem dasar berjalan, tentu ada ambisi untuk mengembangkan lebih lanjut. Berikut beberapa rencana jangka menengah dan panjang:

1. Pasang VPN: Akses Global #

Saya ingin server ini bisa diakses dari mana saja, tanpa khawatir IP berubah-ubah atau terblokir. Dengan VPN (seperti WireGuard atau Tailscale), saya bisa membuat jaringan virtual pribadi yang stabil dan aman.

2. Tambah UPS: Ketahanan Daya #

Daerah tempat saya tinggal (Banyumas, khususnya Sumpiuh) cukup rawan mati listrik. Karena itu, sebuah UPS (Uninterruptible Power Supply) sangat dibutuhkan. Bukan hanya untuk menjaga data, tapi juga mencegah kerusakan disk saat mati mendadak (siapa tahu kamu punya UPS tidak digunakan, dan mau disumbangin timbang mubazir wkwkwkwk).

3. Bangun Cluster: Distribusi Beban #

Dengan adanya beberapa laptop tambahan, saya bercita-cita membangun mini cluster. Yang mungkin belum terlalu ngebet karena belum ada tujuan jelas dibuat mau diperuntukan buat apa (mungkin kamu punya ide atau masukan).

4. Membuat Rak atau Box #

Berharap ada dana untuk proses selanjutnya yaitu membuat rak atau box, entah dari akrilik atau triplek, biar gak berantakan dan geletakan seperti digambar.

Refleksi: Teknologi Tidak Harus Mahal #

Yang saya pelajari dari eksperimen ini adalah:

  • Teknologi bisa dibangun dari limbah. Inovasi tidak harus berasal dari hardware mahal.
  • Kemandirian digital itu mungkin, bahkan dari rumah, bahkan dari laptop bekas.
  • Eksplorasi teknologi tidak harus menunggu “waktu yang tepat”, kadang lebih baik langsung mulai dari apa yang ada.

Penutup #

Proyek Cluster Gelandangan adalah perpaduan antara eksperimen teknis dan semangat DIY (Do-It-Yourself). Berawal dari laptop bekas, kini saya punya server pribadi yang berjalan 24/7, melayani berbagai kebutuhan pengembangan dan penyimpanan data.

Siapa tahu, di masa depan, proyek ini akan tumbuh jadi komunitas kecil pengoprek yang ingin merakit server dari barang tak terpakai. Karena pada akhirnya, teknologi adalah alat—dan kita yang menentukan bagaimana ia berguna.

Akhir kata, semoga bermanfaat…

Barakallahufiikum…